Press "Enter" to skip to content

Gus Huda: Allah Tak Melihat Tatomu, Tapi Kebersihan Hatimu

Kebersihan hati merupakan faktor terpenting untuk mengubah kehidupan seseorang. Dengan niat yang bersih, dan semata-mata mengharapkan keridhoan Sang Pencipta, orang dengan status apa pun, dari golongan apa pun, pasti dapat mewujudkan apa yang diharapkan, menjadi orang yang bermanfaat bagi lingkungan. Pandangan inilah yang selalu disampaikan Pengasuh Ponpes Santri Ndalan Nusantara Muhammad Nurul Huda.
Muhammad Nurul Huda atau yang akrab disapa Gus Huda Lahir di Kabupaten Semarang, 19 November 1989. Sejak usia 10 bulan, Gus Huda sudah berpisah dengan orang tua dan ikut kakeknya. Karena sang ibu sakit akhirnya ikut kakek. Dari sang kakek pula Gus Huda mulai mengenal agama Islam lebih dalam. Apalagi latar belakang sang kakek sebagai pengajar ngaji di sebuah pesantren.
“Jadi saya kenal pesantren, ngaji, sebelum ada lampu, dulu pakainya masih lentera kayak gitu,” tuturnya.
Gus Huda tidak bercita-cita menjadi seorang kyai. Dirinya bercerita, dulu saat masih menimba ilmu di pesantren, guru /kyai nya pernah bilang bahwa jangan kita itu mondok (belajar di pondok pesantren) tapi cita-citanya jadi kyai.
“Jadi ngga boleh gitu. Kita ngaji itu niatnya ya ngaji, ngilangin kebodohan gitu aja. Jadi ngga ada menjadi kyai kok menjadi cita-cita. Beda dengan cita-cita punya jabatan di birokrat misalnya. Saya ingin menjadi anggota dewan saya harus seperti ini kan gitu. Tapi kalo seorang mubaligh/kyai itu memang orang-orang pilihan dari Allah seperti itu. Akan tetapi gus huda sendiri merasakan bahwasanya sekarang ini saya menjadi seorang pendakwah, pengasuh/pembina santri sandal seperti ini bukan karna jerih payah saya. Tapi ini karna barokahnya tirakatnya mbah-mbah gus huda. Jadi mbah saya yang tirakat saya yang menikmati hasilnya. Tirakat itu seperti prihatin lah gitu,” bebernya.
Adapun awal mula dibentuknya santri sandal ialah saat Gus Huda akan mendirikan majelis dzikir dan sholawat yang dikasih nama Sohitul Mahbub. Namun akhirnya Sohitul Mahbub menjadi grup rebana. Selang tiga tahun, Gus Huda mendirikan majelis dzikir mujahadah yang namanya Jalbul Rizqi yang artinya jalan rezeki.
“Mengapa kok yang saya buat ini saya namakan jalbul rizqi, karna saat saya itu mendirikan itu banyak sekali orang-orang yang datang ke saya mengenai permasalahan keuangan. Pak utangku akeh pak, pak rejekiku seret dan lain sebagainya. Saya heran, Padal saya ngga nyetak uang tapi kok sambatnya sama saya gitu. Terus mereka-mereka itu saya ajak mujahadah lewat jalbul rizqi ini. Lambat laun jalbul rizqi banyak yang minat, banyak yang ikut,” terangnya.
“Akan tetapi ada sebuah penghalang bagi teman-teman yang ada di ndalan (jalan) itu tadi. Yaitu, wah saya ingin ikut mujahadah tapi saya takut. Saya mau ikut mujahadah kalau saya bersih hatinya, ini saya masih kotor. Kadang banyak orang yang mengatakan gitu. Aku masih kotor aku malu untuk ke masjid untuk ngaji dsb. Ini merupakan sebuah alasan yang tidak masuk akal. Karna kebersihan hati itu bisa kita dapatkan di masjid dan majelis pengajian. Lah bagaimana mereka ini kok malu datang ke masjid tapi menginginkan hatinya bersih. Akhirnya kita yang mengalah, untuk menjembatani mereka untuk masuk ke majelis mujahadah maka disitulah kami membuat yang namanya santri ndalan nusantara ini. Jadi sandal adalah gerbangnya/jembatannya jalbul rizqi, secara umumnya gitu,” ungkapnya.
Pemilihan kata “sandal” untuk pesantren disebut punya cerita menarik sendiri. Kebetulan gus huda ini hidup ditengah perkotaan. Kebanyakan mereka yang tinggal diperkotaan ini kebanyakan ekstrim (secara penampilan).
“Saya sebelum ada sandal ini, saya lebih dulu menjadi ketua ansor (organisasi yang bernaung dibawah NU) di semarang selatan. Akan tetapi dalam saya mengajak dakwah teman-teman yang ada di santri ndalan saat ini, teman-teman yang gondrong, yang tatoan, yang semiran seperti itu, mereka takut/sungkan saya masukan ke ansor gitu. La sedangkan mereka sebenarnya punya keinginan untuk belajar agama. Sedangkan diluar NU, mereka yang mau belajar agama itu syaratnya sulit banget. Mereka yang seneng nggitar kalau mau belajar islam harus ninggalin gitarnya karna menurut mereka gitar haram. Mereka yang bekerja di bank pun harus berhenti bekerja karena menurut mereka riba gitu. Tatoan kalo mau masuk islam harus dihilangkan tatonya dulu. Nah ini kan ekstrim. Maka kami menjadi wadah yang selain itu mereka tidak begitu. Kamu yang masih tatoan tuhan tidak melihat kamu dari tatomu/fisikmu tapi tuhanmu melihat kamu dari hatimu spt itu. Termasuk mereka yang semiran, saya katakan, semir itu tidak ada yang mengharamkan, kalau semir hitam malah haram tp selain warna itu tidak. Tapi yang menjadikan ketidakbaikan semir ini ketika kamu dilihat orang lain, lalu orang lain mengatakan orang tidak baik-baik, ini yang menjadikan dosanya itu disitu sebenarnya. Ini lah toleransi yang ada di sandal seperti itu. Akhirnya teman-teman disini itu menjadi nyaman,” kata Gus Huda menceritakan.
Kata sandal sendiri dipilih karena yang direkrut adalah teman-teman yang ada di jalan (ndalan). Nama sandal juga tak lepas dari ceramah Gus Mus (Kyai Haji Mustofa Bisri) dimana beliau mengatakan siapapun orangnya, tidak harus mereka yang bernaung di pondok pesantren tapi kok orang itu cinta dengan kyai suka dengan kyai tawaduk dengan kyai maka dia bisa dikatakan santri itu tadi.
“Karena sandal ini tidak punya bangunan secara khusus, ya sudah santrinya nyebar dijalan gitu aja. Hanya saja kalau pas disemprit, atau dipanggil kyai gitu mereka langsung kumpul, nah itu sandal,” jelasnya.
Mendidik santri yang berasal dari jalan tentu beda dengan santri pada umumnya.namun Gus Huda punya satu kunci, istiqomah atau konsisten. Yang artinya istiqomah itu lebih utama daripada seribu keramat/karomah. Ibaratnya kita mencari satu kekeramatan saja sulit apalagi seribu.
“Jadi ya kuncinya cuma istiqomah, dengan selalu melapangkan dada kita, kesabaran kita untuk selalu membimbing mereka,” tuturnya.
“Kedua kesabaran, tentunya tidak meninggalkan yang namanya tirakat. Jadi Alhamdulillah semua anggota santri ndalan, setiap munajat saya didalam doa saya selalu saya sebut. Selalu saya doakan. Mereka yang masih senang mabuk, main togel, bahkan yang belum mau ke sandal saya juga doakan,” imbuhnya.
Gus Huda sendiri punya saran dan pesan untuk generasi muda yang ingin mengikuti jejaknya.
“Olo apike menungso iku gumantung pungkasaning uripe (baik dan buruknya manusia itu tergantung akhir hayatnya). Kalau akhir hayatnya dia wafat dengan keadaan husnul khotimah membawa iman maka dia dikatakan orang yang baik, tapi kalau dalam akhir hidupnya kok dia dalam keadaan su’ul khotimah atau tidak membawa iman maka dia dikatakan dalam keadaaan buruk. Maka manusia bisa kita ibaratkan bambu. Bambu itu ada rebung, ketika dipotong muda jadi isi lumpia. Ketika dipotong lebih muda lagi bisa jadi tali jadi keranjang. Ketika dipotong tua jadi usuk jadi kayu jadi pagar. Tinggal kita ini oleh tuhan mau dipotong kapan gitu. Jadi jangan menunggu untuk jadi tua gitu, kita kan juga gatau umur kita sampai kapan. Jadi kita jangan menginginkan berbuat baik itu nunggu waktu. Karena hal yg paling dekat dengan kita adalah kematian. Maka buat generasi muda, ketika kamu ini punya niat untuk berbuat baik jangan tunggu besok, langsung lakukan. Apapun kebaikannya,” pungkasnya.
Mari berbagi...

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *