JAKARTA (Nayantaka.id) – Pengamat perminyakan dan gas bumi (migas) dari Center for Petroleum and Energy Economics Studies, Kurtubi menilai, naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) karena pemerintah salah kelola dalam pengelolaan Migas.
“Minyak kita 40 persen adalah impor. Jadi saya katakan sektor migas sudah sangat terpuruk sejak 20 tahun yang lalu,” kata Kurtubi, di Jakarta Rabu (30/3).
Menurut dia, kesalahan pengelolaan migas di Indonesia terjadi akibat perubahan UU Migas No 8 Tahun 1971 menjadi UU No 22 Tahun 2001. Padahal, lanjut dia, dengan penerapan UU No 8 Tahun 1971sistem tata kelola migas lebih efisien dan simpel sehingga disukai oleh ivestor.
“Tetapi setelah diubah menjaid UU No 22 Tahun 201, tata kelolanya menjadi menjadi ruwet, ribet dan birokratif,” ucapnya.
Mengacu pada UU Migas No 20 Tahun 2021, kata Kurtubi, investor harus mengurus sendiri izin-izin untuk bisa menambang di Indonesia.
“Karena investor harus urus sendiri izin-izin, maka tata Kelola migas menjadi ruwet, birokratif dari satu kantor ke kantor lainnya dan dari satu kementerian ke menterian lainnya,” ujarnya.
Sebelumnya, dengan UU No 8 Tahun 1971 sistimnya simpel, di mana semua perizinkan yang dibutuhkan oleh investor itu diurus oleh pihak Pertamina.
“Waktu itu, Pertamina memegang kuasa pertambangan berdasarkan UU No.8 Tahun 1971 dan sekaligus Pertamina sebagai penandatangan kontrak bagi hasil denga investor perusahaan migas yang mau beroperasi di Indonesia,” tegas Kurtubi.
Dengan kuasa pertambangan yang dimiliki Pertamina, menurut Kurtubi semua perusahaan minyak asing dan swasta yang mau mencari minyak atau menambang di Indonesia cukup berkontrak dengan Pertamina saja.
“Namanya, kontrak bagi hasil antara Pertamina dengan perusahaan itu. Sama-sama perusahaan. Ini namanya B to B,” ucapnya.
Menyinggung ajloknya produksi minyak Indonesia, Kurtubi mengatakan hal ini lantaran perusahan yang akan menambang minyak harus membayar pajak dan pungutan-pungutan, meskipun belum menemukan minyak.
“Masih tahap eksplorasi perusahaan tambang minyak sudah dikenakan pajak. Jadi dia membawa uang dari luar negeri untuk cari minyak dan masih ngebar sana, ngebor sini belum menemukan minyak tapi sudah harus bayar pajak,” urainya.
Akibatnya, tegas Kurtubi, tidak ada persahaan minyak asing yang mau menambah minyak ke Indonesia.
“Beban APBN mau dipindahkan ke rakyat. Tidak bisa lagi APBN untuk membantu rakyat karena kesalahan tata kelola. Saya minta kepada Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Perpu untuk mencabut UU No.20 tahun 2001. Karena ini jalan yang konstitusional. Tidak perlu menunggu UU diperbaiki oleh DPR undang-undang tersebut. Sebab, DPR sudah dua kali gagal memperbaiki UU Migas,” tutupnya. (*)
Be First to Comment