Press "Enter" to skip to content

Penetapan UMK 2022, Karmanto Minta Pemerintah Gunakan Rumusan Sesuai Kebutuhan Riil Buruh

SEMARANG (Nayantaka.id) – Buruh selalu menjadi pihak tertindas. Dituntut bekerja maksimal, tetapi diberi upah minimal. Kebijakan pemerintah bukannya menunjukkan keadilan dan kesejahteraan malah justru memicu petaka bagi rakyat kecil. Para penentu kebijakan hanya berpikir ’investasi’, tetapi dengan cara menggilas keringat buruh.

Salah satu bukti nyata kebijakan yang mencekik buruh adalah rencana Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2022 dipastikan akan mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Dengan begitu, penetapan upah akan mengacu kepada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai inflasi dan pertumbuhan ekonomi makro. Atas dasar itu, Aliansi Buruh Jawa Tengah (ABJT) menolak Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan tersebut, karena tidak relevan dengan kondisi atau kebutuhan buruh di lapangan.

“Penetapan UMK 2022 harus dilakukan berdasarkan rumusan “UMK berjalan + kebutuhan di masa pandemi Covid 19 = upah 2022”, bukan mengacu inflasi dan pertumbuhan ekonomi makro,” kata Karmanto, Juru Bicara Aliansi Buruh Jawa Tengah itu, Rabu (17/11).

Karmanto menegaskan kebutuhan selama pandemi Covid-19 yang realistis dibutuhkan buruh adalah sebagai berikut; masker N.94 Rp 115.000, hand sanitizer Rp 90.000, sabun cair 150 ml Rp 29.600, vitamin Rp 75.000, pulsa/kuota/daring/Indihome Rp 100.000, biaya kenaikan air bersih 50 persen Rp 40.000. Total kebutuhan di masa pandemi Rp 449.600.

“Dari kebutuhan selama pandemi itu, selama ini buruh hanya mendapatkan subsidi dari pemerintah Rp 1.200.000/tahun. Maka UMK 2022 wajib naik 16 persen!. Contoh penghitungan, Kota Semarang, yakni UMK 2021 Rp 2.810.000 + Rp. 449.600. Maka UMK Kota Semarang pada 2022 yakni Rp 3.259.600, atau naik 16 persen,” tegasnya.

Maka dari itu, kata dia, Aliansi Buruh Jawa Tengah pada tuntutan menolak Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan serta meminta UMK 2022 wajib naik 16 persen.

Aliansi Buruh Jawa Tengah merupakan gabungan buruh di Jawa Tengah, masing-masing, Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan (FSPIP) Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Jawa Tengah, Serikat Pekerja (SP)- Pungkook Bersatu Grobogan (PUBG), Federasi Serikat Pekerja Retail Indonesia (FS PRIN), Serikat Buruh Kerakayatan (SERBUK) Jawa Tengah, Federasi Serikat Buruh Garment Kerajinan Tekstil Kulit dan Sentra Industri Serikat Buruh Seluruh Indonesia (FSB GARTEKS), Serikat Buruh Mandiri Coca-Cola (SBMCC), Federasi Serikat Buruh Readimik dan Konstruksi (FSBRK), Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI – LBH) Semarang, dan Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) Jawa Tengah. (man)

Mari berbagi...

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

[widget id="custom_html-2"]